Melalui konten yang atraktif dan tepat, perusahaan dapat melakukan aktivitas promosi dengan gaya yang lebih bisa di-customize dengan strategi branding.
Saat lulus kuliah 2010 lalu, tak pernah sedikitpun terlintas akan bekerja meliput, dan menulis berita untuk media layaknya seorang wartawan. Saya sebut ‘layaknya’, karena saya tidak pernah ditarget jumlah tulisan, ataupun kecepatan dalam menaikkan sebuah berita, gaya penulisan saya pun lebih mengarah ke sebuah advertorial dibandingkan sebuah karya jurnalistik. Maka dari itu, saya lebih menyukai menyebut diri saya sebagai seorang content writer. Kendati demikian, saat bekerja di lapangan, saya tetap banyak mengenal, dan berbaur dengan kawan-kawan jurnalis dari berbagai media. Mereka telah menjadi teman kantor kedua saya, selain teman kantor yang menetap di sekitar kawasan Dago, Bandung.
Sungguh sebetulnya sangat menyenangkan bekerja dalam sebuah ekosistem media yang waktu kerjanya flexible, bertemu dengan banyak orang, serta disuguhi beragam hidangan lezat dan melimpah setiap press conference, atau gathering. Maka tak heran selama tiga tahun lebih bekerja di media dulu, berat badan saya pun naik hingga 12 Kg. Tapi di balik kesenangan tersebut, ada keresahan yang menggelayuti pikiran saya, bahkan sejak satu bulan bekerja. “Bagaimana sebuah media menghasilkan uang, dan berkembang secara bisnis?” pikiran itu terlintas ketika saya mulai mengamati dan coba-coba menghitung sendiri estimasi profit bisnis. Hasilnya, memang minus besar. Namun, saya mencoba menepis pemikiran tersebut dengan meyakini bahwa seiring dengan berjalannya waktu, akan ada strategi pengembangan bisnis. Bertahun-tahun kemudian, pengembangan bisnis memang ada, tapi tetap nihil secara hasil.
Senjakala media cetak menjadi sebuah topik yang banyak diangkat sejak awal medio 2010-an. Tentunya bukan tanpa alasan topik tersebut naik ke permukaan. Perlahan nama-nama media yang sudah terbit puluhan tahun pun mengumumkan edisi cetak terakhirnya, mari kita sebut saja di antaranya ada Trax, Hai, dan Bola. Selain karena kalah cepat dalam menyiarkan berita, biaya operasional pun menjadi faktor lainnya. Saya pun ikut merasakannya, karena salah satu format media yang saya kerjakan dirilis dalam bentuk cetak. Beberapa nama besar masih dapat bertahan hingga sekarang, namun mulai terlihat penyusutan ukuran dan jumlah halaman.
Berdasar dari pengamatan, serta obrolan ringan dengan kawan-kawan media, sebetulnya senjakala ini juga terjadi pada seluruh bidang media. Bahkan media online pun yang digadang-gadang menjadi masa depan dunia media pemberitaan sedang mengalami hal tersebut. Kehadiran media sosial memang membuat dinamika di seluruh bidang kehidupan bergerak dengan cepat. Impact yang cukup bikin aware masyarakat baru-baru ini mungkin adalah berita penawaran pengunduran diri karyawan si “Televisi Masa Kini” yang menjadi trending topic selama hampir seharian di dunia maya. Padahal secara konten, media ini terbilang kreatif dalam meramu ide yang diwujudkan melalui program-program kece. Namun kembali lagi, namanya bisnis harus pula berprofit.
Hal yang tak begitu disadari, namun sebenarnya kini sudah cukup terasa adalah brand sudah dapat mengiklankan dirinya sendiri tanpa perantara media. Melalui konten yang atraktif dan tepat, perusahaan dapat melakukan aktivitas promosi dengan gaya yang lebih bisa di-customize dengan strategi branding. Ditambah, hampir seluruh platform social media sendiri kini sudah dilengkapi dengan fitur ads placement yang praktis, dan indikator data performa iklan yang lebih terukur impact-nya. Oleh karena itulah, banyak brand kini sudah mengalihkan budget beriklan mereka dengan berpartner bersama creative agency. Tak sedikit pula perusahaan yang serius berinvestasi dengan membentuk tim content creative yang mumpuni untuk pengembangan bisnisnya pada masa yang akan datang.
Saya ingat sebuah kutipan yang saya dapatkan saat kuliah Pengantar Bisnis pada semester dua dulu. Entah siapa yang mengatakan, tapi kutipan tersebut berbunyi, “satu-satunya hal yang pasti di dunia ini, adalah ketidakpastian itu sendiri.” Jadi memang hadirnya unsur ketidakpastian dalam bisnis itulah yang kemudian mengharuskan bisnis harus terus mengembangkan skema pendapatannya. Mungkin memang tak banyak, tapi beberapa media sudah mulai mengembangkan model bisnisnya. Contohnya saja Kompas yang mulai berani menawarkan paket berlangganan berita online, di tengah media daring lainnya yang menyajikannya secara gratis. Dalam model bisnis ini, beberapa artikel dalam situsnya hanya akan terbuka separuh saja bagi yang tidak berlangganan.
Di Bandung sendiri, ada juga sebuah media yang terbilang masih sangat baru, namun cukup cepat menggebrak. Dalam sebuah perbincangan dengan salah satu kawan reporter, ia menyebutkan bahwa media ini hanyalah pakaian untuk membuat mereka dapat berjalan-jalan dan membranding dirinya sendiri. Sedangkan soal profit, mereka tahu tak bisa mengandalkan ads placement, sehingga yang ditawarkan ke client adalah jasa agency, mulai dari pembuatan konten, pengelolaan media sosial, hingga aktivasi. Saya rasa sebetulnya model bisnis seperti ini bagi media cukup ideal. Setidaknya untuk saat ini. Saya pun sempat berencana membangun model bisnis ini bersama beberapa kawan media yang saya jumpai di lapangan. Namun sayangnya, kebutuhan dasar komunikasi antara kami tidak terjalin dengan baik, sehingga rencana tinggallah rencana.
Lalu apakah seluruh media kini harus bertransformasi menjadi agency? Tentu saja tidak. Walau bagaimanapun masyarakat kita masih memerlukan media-media yang dapat menjadi sumber informasi kredibel di tengah maraknya informasi hoax yang bertebaran. Dari beberapa contoh kasus yang saya amati, ternyata ada juga media yang menjual jasa pengolahan data riset dan investigasi pasar yang mereka lakukan, karena faktanya, banyak perusahaan yang membutuhkan hal tersebut. Apakah ini akan menjadi masa depan bisnis media? Belum tentu. Karena pada dasarnya sebuah bisnis itu hadir sebagai solusi dari apa yang masyarakat tidak miliki dan butuhkan. Bila suatu saat mereka dapat memenuhi semua kebutuhan yang kini bisnis media sediakan, maka kita harus mencari kembali kebutuhan lain yang dapat dipenuhi.